Pernahkah Anda membayangkan, seorang siswa SMP masih belum mampu membaca dengan lancar? Beberapa waktu lalu, media sosial dihebohkan oleh sebuah video yang memperlihatkan seorang siswa SMP yang tidak lancar membaca. Saat diminta membaca teks sederhana di depan kelas, ia terbata-bata, bahkan ada huruf yang sama sekali tidak ia kenali. Video itu pun menuai beragam reaksi dan memantik perdebatan ada yang merasa iba, ada yang menyalahkan sistem pendidikan, dan ada pula yang mempertanyakan perhatian orang tua. Bagaimana mungkin hal semacam ini masih terjadi di tengah gencarnya upaya Indonesia meningkatkan kualitas pendidikan?
Fenomena ini menunjukkan bahwa persoalan literasi di Indonesia jauh lebih serius daripada sekadar rendahnya minat baca. Bayangkan, di tengah derasnya arus era digital, anak-anak dengan mudah dan mahir membuat konten kreatif, mengedit video dengan transisi rumit, atau mengikuti tren media sosial. Tentu saja, keterampilan ini patut dibanggakan. Namun, di balik kecakapan digital yang melesat, masih ada remaja yang kesulitan membaca teks sederhana. Inilah paradoks besar yang dihadapi bangsa: generasi muda kian unggul dalam keterampilan digital, tetapi rapuh dalam fondasi literasi. Padahal, Indonesia saat ini sedang berada pada fase transisi memiliki peluang emas menuju bonus demografi, kemajuan teknologi, dan keterbukaan informasi global. Jika kesempatan besar ini tidak ditopang oleh literasi dasar yang kuat, peluang tersebut justru bisa berubah menjadi ancaman serius.
Hakikatnya, literasi bukan sekadar persoalan mengeja huruf atau membaca kalimat. Literasi adalah kemampuan memahami, mengolah, dan memanfaatkan informasi untuk menghadapi berbagai tantangan hidup. Namun, data menunjukkan literasi Indonesia masih jauh dari harapan. Survei Programme for International Student Assessment (PISA) tahun 2022 menempatkan Indonesia di peringkat ke-69 dari 81 negara dalam kemampuan membaca. Angka ini sungguh memprihatinkan. Bagaimana mungkin negara dengan jumlah penduduk muda yang melimpah tertinggal begitu jauh dalam berliterasi? Padahal, membaca adalah fondasi berpikir kritis sekaligus dasar dari semua keterampilan yang dibutuhkan pada abad ke-21 ini. Inilah alasan mengapa literasi harus menjadi perhatian mendesak bagi kita semua.
Lantas, mengapa literasi di negeri kita masih berjalan lambat? Banyak faktor penyebab yang saling mempengaruhi. Pertama, kualitas guru yang belum merata. Kedua, kurikulum dengan berbagai pendekatannya terlalu sering berubah membuat proses belajar seperti kelinci percobaan sehingga literasi seolah hanya sebagai pelengkap, bukan fondasi utama dalam pembelajaran, terutama di satuan pendidikan tingkat dasar, padahal fase ini merupakan periode krusial dalam pembentukan keterampilan dasar membaca, menulis, dan berpikir kritis. Ketiga, dukungan keluarga yang masih rendah. Keempat, komunitas literasi yang bermunculan di berbagai daerah sering kali belum memiliki rujukan baku atau modul ajar yang jelas sebagai acuan sehingga kegiatan yang dijalankan lebih banyak terikat pada tataran seremonial sesaat daripada benar-benar memberi dampak jangka panjang.
Meski tantangan literasi begitu besar, Indonesia sebenarnya memiliki peluang yang sangat menjanjikan. Hampir 70% penduduk kita berada pada usia produktif, sebuah modal demografi yang tidak dimiliki semua negara. Inilah momentum langka yang bisa menjadi tiket utama menuju Indonesia Emas 2045. Bayangkan, jika generasi muda kita dibekali kemampuan literasi yang kuat, mereka tidak hanya mampu bersaing di tingkat nasional, tetapi juga di panggung global. Bonus demografi ini seperti ladang yang subur, ia menyimpan potensi luar biasa, tetapi hanya akan menghasilkan panen melimpah apabila ditanam, dirawat, dan dipupuk dengan tepat. Literasi ibarat pupuk dan alat pengolahnya, yang memastikan energi dan kreativitas generasi muda tersalurkan ke arah produktif, inovatif, dan bermanfaat. Jika dikelola dengan baik, Indonesia bisa melahirkan generasi yang tidak hanya cakap teknologi, tetapi juga kritis, bijak, dan siap menciptakan perubahan positif bagi bangsa.
Literasi Menguatkan Bahasa Indonesia Berdaulat
Lebih dari itu, penguatan literasi bukan hanya membangun fondasi berpikir kritis, tetapi juga menjaga kedaulatan bahasa Indonesia. Generasi yang lahir dari budaya literasi yang baik akan terbiasa berpikir kritis, berargumen logis, dan berkomunikasi dengan terampil. Dalam proses itu, bahasa Indonesia hadir sebagai jembatan utama untuk mengolah pikiran menjadi kata, dari kata menjadi kekuatan. Dengan begitu, bahasa Indonesia tidak hanya menjadi sarana komunikasi, tetapi juga sebagai simbol kebanggaan dan identitas bangsa. Literasi yang kuat akan menjadikan bahasa Indonesia hidup di berbagai ruang, baik formal maupun nonformal.
Bayangkan, ketika semua siswa mengerjakan tugas menulis, dan mahasiswa menulis jurnal penelitian, serta anak muda memproduksi konten digital, semua generasi muda menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan kreatif di media sosial. Dengan begitu, bahasa Indonesia mampu hadir dengan gaya penyampaian yang segar-kekinian, menarik, serta komunikatif dengan tetap bermartabat (menjunjung kaidah kebahasaan). Ini membuktikan bahwa literasi bukan sekadar kebiasaan akademis, melainkan sebuah energi yang menjaga bahasa Indonesia tetap relevan sekaligus berwibawa di tengah derasnya arus globalisasi.
Sebenarnya, pemerintah sudah menginisiasi berbagai program literasi. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa pada tahun 2023 telah mendistribusikan lebih dari tiga juta buku bacaan bermutu ke sekolah-sekolah di hampir seluruh penjuru tanah air, terutama di wilayah 3 T (Terdepan, Terluar, dan Tertinggal). Program Gerakan Literasi Nasional (GLN) juga telah berjalan di berbagai daerah. Selain itu, pada tahun 2016 (saat itu masih Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) juga sudah meluncurkan program khusus literasi, yaitu Gerakan Literasi Sekolah (GLS). Namun, penerapannya masih belum berjalan optimal hingga saat ini. Contohnya, kegiatan literasi sekolah yang dilakukan pada awal jam pelajaran. Semua siswa di kelas diminta membaca atau menulis selama 15 menit, tanpa adanya pemeriksaan lanjutan oleh guru, kegiatan ini hanya sekadar formalitas dalam mendukung program GLS.
Tidak berhenti sampai di sana, pemerintah di tingkat daerah juga sudah membuat program khusus literasi. Misalnya, di Sumatera Barat terdapat kegiatan Festival Literasi Minangkabau yang mempertemukan pelajar, mahasiswa, komunitas, hingga sastrawan lokal. Festival ini tidak hanya menjadi ajang pamer karya, tetapi juga ruang belajar bersama yang menghidupkan tradisi literasi. Namun, kegiatan ini belum sepenuhnya mampu menjadi program yang kokoh dalam menghidupkan budaya literasi bagi generasi muda. Memang, berbagai dukungan dan langkah nyata telah diupayakan, tetapi tantangan terbesarnya adalah bagaimana merancang program literasi yang menarik: kreatif dan inovatif serta berkelanjutan sehingga benar-benar menumbuhkan budaya literasi generasi muda.
Lalu, langkah apa yang harus ditempuh untuk menjawab persoalan literasi itu sehingga literasi tidak sekadar formalitas belaka Sebenarnya, Indonesia membutuhkan solusi nyata yang benar-benar dirasakan langsung oleh masyarakat. Melalui tulisan ini, Duta Bahasa Sumatra Barat hadir dalam menyajikan sebuah solusi menarik untuk memaksimalkan literasi di Indonesia. Mari, telusuri lebih jauh!
Duta Bahasa Sumbar Ikut Berkontribusi
Di Sumatera Barat, geliat literasi tidak hanya berhenti pada festival atau komunitas baca, tetapi juga terus dikembangkan melalui inovasi berbasis teknologi. Salah satu contoh nyata adalah hadirnya program Sarana Edukasi Literasi yang digagas oleh Ikatan Duta Bahasa Sumatra Barat.
Berdasarkan data Palito (aplikasi yang memuat informasi tentang komunitas literasi di Sumatera Barat yang digagas oleh Balai Bahasa Provinsi Sumatera Barat) terdapat 48 komunitas literasi aktif yang tersebar di seluruh wilayah Sumatera Barat. Jumlah ini memberikan angin segar bagi kita untuk optimis dengan kegiatan keliterasian. Namun, setelah dilakukan observasi lapangan ke beberapa taman baca, Duta Bahasa Sumatra Barat menemukan bahwa sembilan dari sepuluh taman baca membutuhkan panduan dalam metode pengajaran literasi yang relevan dan menarik. Oleh karena itu, dalam satu tahun terakhir Ikatan Duta Bahasa Sumatera Barat (Ikadubas Sumbar) telah bergerak sebagai promotor dalam menyediakan sarana edukasi bagi pegiat literasi. Ikadubas Sumbar telah menyediakan modul ajar, video pengenalan enam literasi dasar, ruang interaksi bersama pembina duta bahasa, hingga pojok bercerita sebagai wadah berbagi pengalaman.
Hasilnya, terlihat peningkatan antusiasme peserta dalam membaca dan juga memahami terkait materi yang diberikan. “Aku suka kalau ada kegiatan bermain sambil belajar di sini, rasanya jauh lebih mudah mengerti dan terbukti dalam menjawab soal pun aku bisa benar semua,” ujar Syifa, salah satu anggota sekaligus peserta di Taman Baca Bukik Ase Kota Padang. Dengan adanya kegiatan inovatif seperti ini, diharapkan indeks literasi dapat meningkat sekaligus menghindarkan anak-anak dari kebiasaan meng-scroll media sosial tanpa arah. Gerakan ini bukan sekadar ajakan membaca, tetapi juga ikhtiar membangun generasi kritis, kreatif, dan melek teknologi.
Lebih jauh, tidak hanya memperkuat kegiatan literasi di akar rumput, tetapi juga menegaskan peran penting duta bahasa dalam menyinergikan semangat komunitas, teknologi, dan tradisi literasi. Apa yang dilakukan oleh komunitas dan duta bahasa di Sumatera Barat memberi pesan penting bahwa inovasi literasi dapat berawal dari ruang- ruang kecil dan kemudian menyebar dan berkembang lebih luas. Ketika energi kebersamaan mampu melahirkan gerakan nyata di suatu daerah, semangat serupa juga dapat menjadi fondasi kuat untuk membangun budaya literasi di tingkat nasional.
Inisiatif ini membuktikan bahwa gerakan literasi bisa bertransformasi lebih inklusif dan adaptif tanpa kehilangan jati diri lokal. Maka, jika Sumatera Barat dengan seluruh komunitasnya mampu melahirkan inovasi seperti ini, wilayah lain pun tentu memiliki peluang untuk mengembangkan gerakan literasi serupa. Bukankah demikian?
Literasi Dimulai dari Rumah
Terakhir, fondasi literasi sejatinya dimulai dari rumah. Literasi tidak akan tumbuh jika keluarga tidak membiasakan anak-anak dekat dengan buku dan bahasa. Orang tua dapat memulai dari hal kecil, membacakan cerita sebelum tidur, berdiskusi singkat tentang berita hari ini, atau membuat catatan harian bersama anak. Jika kebiasaan sederhana ini dihidupkan, literasi akan tumbuh sebagai budaya keluarga, bukan sekadar menyelesaikan tugas sekolah. Lebih dari itu, keluarga juga berperan sebagai teladan. Anak yang terbiasa melihat orang tuanya membaca atau menulis secara konsisten akan terdorong melakukan hal yang sama. Dengan begitu, rumah benar-benar menjadi sekolah pertama yang menumbuhkan kecintaan terhadap ilmu dan memperkuat fondasi karakter literat sejak dini.
Ketika literasi menjadi budaya keluarga, dampak jangka panjangnya pun luar biasa. Anak-anak tumbuh dengan rasa ingin tahu yang kuat, kemampuan berpikir kritis yang lebih tajam, serta keberanian untuk menyampaikan pendapat dengan percaya diri. Mereka tidak hanya siap menghadapi ujian sekolah, tetapi juga tantangan kehidupan yang menuntut kreativitas dan daya saing. Dalam jangka panjang, generasi yang lahir dari keluarga literat akan menjadi motor perubahan, membawa Indonesia menuju masa depan yang lebih beradab, cerdas, dan kompetitif di tengah arus globalisasi.
Peluang selalu terbuka jika kita mau bergerak. Karena itu, literasi harus kita jadikan gerakan bersama menuju Indonesia Emas 2045. Jika keluarga, sekolah, komunitas, hingga gerakan akar rumput bersinergi, literasi akan menjelma sebagai mesin utama kemajuan bangsa. Inilah saatnya kita tidak hanya berhenti pada slogan, tetapi menjadikannya napas kehidupan sehari-hari. Generasi Indonesia yang literat, kritis, dan berdaya saing bukan lagi sekadar harapan, melainkan sesuatu yang bisa diwujudkan jika ada kemauan.
Pertanyaan terakhir, apakah kita siap bergerak bersama menjadikan literasi sebagai jalan menuju masa depan gemilang, atau justru membiarkannya menjadi lubang gelap yang menelan harapan? Jawabannya ada di tangan kita semua, generasi muda.

