(0751) 776789 || Utamakan Bahasa Indonesia, Lestarikan Bahasa Daerah, dan Kuasai Bahasa Asing

Unduh disini
Anata Menguak Problematika Bahasa dan Sastra Daerah bagi Generasi Muda
Karya: Faisal Deli Al Fawwaz & Wanda Andita Putri
Duta Bahasa Sumatra Barat 2022

Apakah eksistensi bahasa daerah di putaran arus globalisasi terpatri dalam diri penerus
negeri? Putaran globalisasi yang semakin melaju memberikan tantangan sekaligus peluang
terhadap pelestarian bahasa daerah bagi generasi muda. Perkembangan globalisasi
memberikan bayang-bayang ketakutan bagi masyarakat daerah karena secara tidak sadar
bahasa sebagai identitas daerah akan tergilas bahkan tuntas.
Hal ini akan mengancam suatu bahasa daerah dengan panah-panah kepunahan. Pakar
bahasa dan budaya Universitas Negeri Makassar (UNM), Prof. Dr. Zainuddin Taha,
mengatakan bahwa pada abad ini diperkirakan 50% dari 5.000 bahasa di dunia terancam
punah atau setiap dua pekan akan hilang satu bahasa. Kepunahan tersebut bukan karena
bahasa itu hilang atau lenyap dari lingkungan peradaban, melainkan para penuturnya
meninggalkan bahasa tersebut dan bergeser ke penggunaan bahasa lain yang dianggap lebih
menguntungkan dari segi ekonomi, pendidikan, sosial, politik, dan psikologis.
Kepunahan bahasa juga mengacu pada pergeseran bahasa dan pergeseran bahasa akan
berhubungan dengan pemartabatan bahasa. Penyebab pergeseran bahasa salah satunya ialah
adanya pengaruh globalisasi dan modernisasi yang menjadikan bahasa daerah sebagai korban
yang diasingkan. Penutur bahasa daerah semakin berkurang karena cenderung dianggap
terbelakang. Kebanyakan bahasa daerah yang berkembang saat ini (khususnya di tengah
generasi muda) bukanlah bahasa daerah asli melainkan adanya campuran dari bahasa lain.
Demikian pula halnya di Provinsi Sumatra Barat. Walaupun bahasa Minangkabau
termasuk bahasa yang paling banyak digunakan dengan jumlah penutur mencapai 6,4 juta
jiwa yang tidak hanya tersebar di Sumatra Barat, tetapi juga di Riau bagian barat, Jambi
bagian utara, Bengkulu, hingga di Negeri Sembilan, Malaysia. Kita tahu bahwa bahasa
Minangkabau merupakan salah satu bahasa daerah yang memberikan andil terhadap kosakata
bahasa Indonesia. Namun, fenomena yang terjadi saat ini, adanya variasi bahasa melalui
campur kode yang berimbas pada intervensi antara bahasa Minangkabau dan bahasa
Indonesia menimbulkan kekhawatiran penulis akan lunturnya kosakata dan dialek asli bahasa
Minangkabau.
Para penutur bahasa Minangkabau sering mencampuradukkan kedua bahasa ini saat
berkomunikasi. Masyarakat Minangkabau tidak asing lagi dengan kalimat, seperti “Dari ma
kamu tadi tu?” ‘Dari mana kamu tadi?’, “Lai tau dek kamu?” ‘Adakah itu kamu tahu?’,
“Ilang pensil aku liak a” ‘Pensilku hilang lagi, nih’. Kalimat-kalimat tersebut merupakan
salah satu bentuk pencampuran bahasa Indonesia dengan bahasa Minangkabau. Seharusnya,
kata kamu dalam kalimat pertama dan kedua diganti dengan kata ang (kamu [laki-laki]) atau
kau (kamu [perempuan]) sebagai bahasa sapaan dalam bahasa Minangkabau. Kata pensil
dalam kalimat ketiga seharusnya diganti dengan kata pituluik sebagai kosakata asli bahasa
Minangkabau. Fakta tersebut menunjukkan semakin melajunya globalisasi, tanpa disadari
kosakata bahasa Minangkabau semakin terasa asing bagi masyarakat Sumatra Barat. Apabila
dibiarkan terus-menerus tanpa upaya yang jelas, tentu membuka celah bahasa Minangkabau
terancam punah.
Selain itu, penulis akan mengajak pembaca berlayar ke daerah Sumatra Barat dengan
ombak tertinggi di Indonesia yang sudah mendunia, yaitu Mentawai. Semua pasti mengenal
bahwa Sumatra Barat adalah tempat berkembangnya budaya dan bahasa Minangkabau.
Namun, tidak banyak yang melirik bahwa Sumatra Barat memiliki bahasa daerah kedua yang
jauh berbeda dengan bahasa Minangkabau, yaitu bahasa Mentawai. Bahasa Mentawai adalah
bahasa yang hanya digunakan masyarakat yang berada di pesisir pantai sebelah barat
Sumatra, tepatnya di Kabupaten Kepulauan Mentawai. Berdasarkan data dari Badan Pusat
Statistik Provinsi Sumatera Barat, Kabupaten Kepulauan Mentawai memiliki luas wilayah
sekitar 6.011 km² dan menjadikannya sebagai kabupaten terluas di Sumatra Barat.
Hal ini berbanding terbalik dengan penyebarluasan bahasa daerahnya sebagai identitas
budaya Mentawai di Sumatra Barat. Penutur asli bahasa Mentawai setiap tahun mengalami
kemunduran, akibat penduduk yang bermigrasi dari luar Kepulauan Mentawai. Tercatat saat
ini, penutur bahasa Mentawai sebanyak 64.000 jiwa yang semakin hari kian menurun. Lokasi
Kabupaten Kepulauan Mentawai yang dikelilingi dengan perairan memungkinkan pada
tahun-tahun mendatang daerah Mentawai akan hilang. Bahkan, baru-baru ini Badan
Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Sumatera Barat mengatakan bahwa
(berdasarkan pendapat para ahli) ada potensi terjadinya gempa bumi berkekuatan magnitudo
8,9 SR apabila terjadi patahan megathrust Mentawai. Jika gempa besar itu terjadi, akan
disusul gelombang tsunami yang akan melalap bagian pesisir pantai Sumatra Barat, terutama
Kepulauan Mentawai. Hal ini tentunya menjadi ketakutan kita bersama akan tenggelamnya
budaya dan bahasa Mentawai dari peradaban.
Dengan melihat permasalahan bahasa daerah yang terjadi di Sumatra Barat, perlu peran
generasi muda sebagai penerus negeri untuk melestarikan bahasa daerah agar terpatri dalam
diri mereka sehingga panah-panah kepunahan bahasa dapat dipatahkan. Peran tersebut dapat
dimulai dari diri sendiri. Rasa percaya diri dan peduli yang tinggi harus dipupuk
terus-menerus di kalangan generasi muda dalam menggunakan bahasa daerah, terutama
dalam komunikasi sehari-hari. Hal ini untuk mengakrabkan kembali kosakata bahasa daerah
yang sebelumnya terdengar asing menjadi lekat dalam pikiran, pendengaran, dan perkataan
penutur jati bahasa daerah tersebut. Kemudian, dilanjutkan dengan kontribusi peningkatan
kesadaran berbahasa daerah di tengah masyarakat. Penulis sebagai Duta Bahasa Sumatra
Barat menawarkan upaya yang dapat dilakukan sebagai langkah awal untuk merevitalisasi
bahasa daerah yang ada di Sumatra Barat diiringi peningkatan kualitas literasi dengan sasaran
anak-anak sebagai penerus negeri.
Anak Nagari Bercerita dengan akronim Anata merupakan kegiatan yang merujuk pada
literasi berbahasa daerah di bidang sastra diiringi dengan pemartabatan bahasa dan budaya,
serta digitalisasi wawasan kebahasaan. Literasi dalam hal ini meliputi kegiatan mendengar,
bercerita, dan melakukan kegiatan berdasarkan informasi yang didapatkan. Adapun media
kesastraan dalam kegiatan ini berupa cerita rakyat berbahasa daerah Minangkabau dan
Mentawai.
Keluaran dari program Anata ini adalah anak-anak mengetahui cerita daerah asal
Minangkabau dan/atau Mentawai, mereka berani untuk menceritakan kembali cerita rakyat
tersebut dengan bahasa daerah Minangkabau dan/atau Mentawai, serta momen ini diabadikan
dalam bentuk konten video edukasi kebahasaan untuk dipublikasikan kepada masyarakat luas
dengan harapan dapat menjadi media pembelajaran bahasa Minangkabau dan Mentawai
melalui penulisan takarirnya.
Selain itu, buku audio juga menjadi sarana dalam pengembangan dan pembinaan bahasa
dan sastra daerah yang menjadi peluang di era digitalisasi saat ini. Duta Bahasa Sumatra
Barat bekerja sama dengan Balai Bahasa Provinsi Sumatera Barat melalui Buku Audio Anata
mencoba menghadirkan warna baru bagi masyarakat luas untuk mengenal bahasa daerah di
Sumatra Barat. Buku audio ini berisi cerita rakyat daerah Sumatra Barat Minangkabau dan
Mentawai yang dapat didengarkan secara fleksibel, di mana pun dan kapan pun. Melalui
buku audio, bahasa daerah dapat dikemas dengan kesan yang menarik dan elegan dan
membuat penuturnya bahkan masyarakat luas tertarik untuk belajar dan memahami bahasa
daerah setempat, tidak hanya di Sumatra Barat, tetapi juga dapat diterapkan pada daerah lain
di Indonesia.
Melalui program Anata ini, masyarakat luas tidak hanya mengetahui tarimo kasih, tetapi
juga mengetahui masurak bagatta, tidak hanya mengetahui salamaik datang, tetapi juga
mengetahui analoita, dan tidak hanya mengetahui sampai basuo baliak, tetapi juga
mengetahui teret tapaili mincak. Tentunya, ini dapat menjawab pertanyaan sebelumnya
bahwa bahasa daerah akan terpatri dalam diri penerus negeri. Penulis yakin generasi muda
dapat meneruskan tongkat estafet bahasa daerah sebagai warisan yang harus dilestarikan.
Dengan upaya generasi muda dalam pelestarian bahasa daerah menunjukkan bukti kecintaan
kepada bahasa ibu di negeri sendiri. Generasi muda hebat tentu tak akan membiarkan bahasa
ibunya tergerus oleh roda zaman. Peran dan tindakan mereka saat ini adalah potret bahasa ibu
mendatang, akankah tetap indah atau justru menjadi buram.